….
Masalah moral masalah akhlaq
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegak tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau menjadi Manusia Setengah Dewa
( Iwan Fals: Manusia Setengah Dewa)
A. PENDAHULUAN
RUU Anti Pornografi ini telah memecahkan rekor pembahasan undang-undang terlama yakni lebih dari sepuluh tahun dengan tingkat kontroversi yang sangat tinggi. RUU tersebut akhirnya disahkan oleh Presiden pada 26 November 2008.
Bagi sebagaian masyarakat, pornografi lebih cenderung dianggap menjadi masalah moral yang bersifat prifat dibanding sebagai masalah hukum. Dan masalah moral tidak usah dipermasalahkan secara hukum. Misalnya ketika didapati seseorang yang menyimpan banyak sekali kepingan VCD porno ataupun gambar porno untuk dirinya sendiri, tidak pernah dipersoalkan penegak hukum. Lirik lagu Sang Maestro Iwan Fals, setidaknya menggambarkan hal tersebut.
Pornografi ramai diperbincangkan untuk diatur adalah ketika marak terjadi kasus perkosaan, hamil diluar nikah, aborsi dan berbagai kejahatan seksual lain, yang jika ditelusur ternyata kebanyakan pelaku mengaku terpengaruh oleh tayangan film porno yang ditontonnya. Selain masalah kejahatan, moralitas masyarakat timur yang menilai bahwa pornografi adalah tabu, seperti memerlukan satu piranti untuk menjaga moralitas tersebut. Sehingga hukum sebagai sistem norma yang tegas dan memaksa serta memiliki sanksi, dianggap relevan untuk menjaga moralitas bangsa.
Bruggink menyatakan bahwa sosiologi hukum merupakan teori tentang hubungan antara kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat yang bentuk kajiannya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengkaji hukum dari sudut kenyataan masyarakat dan mengkaji atau menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dari sudut kaidah hukum. Dan makalah ini mencoba untuk mengkaji hukum dari sudut kenyataan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, makalah ini akan berusaha menjawab pertanyaan: Dimanakah posisi hukum dalam dalam masalah pornografi? Dan bagaimana menyiasati kemajemukan masyarakat dalam mensikapi UU tentang Pornografi? Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang keterkaitan antara moral hukum dan masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan hukum dalam masyarakat, dan pada inti analisa dalam makalah ini, mencoba mencari posisi hukum dan kemampuan hukum diterapkan dan mengatur dalam hal pornografi.
B. HUKUM, MASYARAKAT, DAN MORAL
Dalam kenyataannya, Hukum selalu terkait dengan masyarakat dan moralitas. Berikut pemaparan tentang keterkaitan antara hukum dengan masyarakat dan juga moral.
1. Hukum dan Masyarakat
Mochar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa pengertian hukum itu akan kembali pada pertanyaan dasar tentang tujuan hukum. Dalam pandangannanya tujuan utama hukum adalah ketertiban. Dengan kata lain, Mochtar ingin menyampaikan bahwa hukum merupakan alat masyarakat yang digunakan untuk mencapai tujuannya yaitu ketertiban. Tanpa hendak menafikan fungsi hukum yang lain, Muchtar seperti hendak merangkum tujuan hukum menjadi satu yang utama yaitu ketertiban. Artinya hukum mau tidak mau mesti terkait dan untuk masyarakat. Meski demikian hukum juga bukan segala-galanya. Bahkan Satjipto Raharjo menyatakan bahwa hukum hanya menempati bidang yang begitu sempit dari luasnya jagat ketertiban.
Roscoe Pound yang pemikirannya sering dikaitkan pada perkembangan sociological jurisprudence di Amerika, mengembangkan beberapa kepentingan yang mestinya dilindungi oleh hukum, yaitu kepentingan umum, kepentingan perseorangan dan kepentingan sosial. Kepentingan sosial meliputi, keamanan umum; keamanan dari institusi-institusi sosial; moral umum, pengamanan sumber-sumber daya sosial; kemajuan sosial; dan kehidupan individual.
Sementara itu, Achmad Ali membagi fungsi hukum dalam lima kategori:
a. Fungsi hukum sebagai “a tool of social control”
Fungsi ini dapat dipahami bahwa hukum adalah salah satu dari sekian banyak alat pengendali sosial. Hukum memberikan ketetapan tingkah laku mana yang selayaknya dilakukan dan tidak dilakukan, serta menetapkan sanksi atas pelanggaran dari yang dilakukan terhadap ketentuan hukum tersebut.
b. Fugsi hukum sebagai “a tool of social engineering”
Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakn terlebih dahulu, itulah social engineering. Sedangkan hukum merupakan alat yang digunakan oleh penguasa atau agent of change untuk mengendalikan masyarakat. Sehingga dengan kalimat sederhana, hukum merupakan salah satu alat rekayasa sosial, dengan melalui regulasi monitoring dan pemberian sanksi.
c. Fungsi hukum sebagai simbol
Hukum berfungsi untuk memberikan penggambaran istilah-istilah kejala dalam masyarakat dengan simbol-simbol yang dapat diinteraksikan antar masyarakat. Seperti tindakan seseorang yang mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki, disimbolkan dengan tindak pencurian, begitu juga dengan simbol-simbol yang lain.
d. Fungsi hukum sebagai “a political instrument”
Hukum sebagai alat politik, meskipun aliran positifis dogmatik tidak mengakui, akan tetapi dalam kenyataan adalah bahwa hukum dalam Negara hukum sendiri dibuat oleh lembaga legislative dan eksekutif, jika di Indonesi antara DPR dan pemerintah. Jadi hukum tidak akan jauh dan akan selalu berhubungan dengan dan akan menjadi komoditi politik dalam menjalankan sebuah Negara.
e. Fungsi hukum sebagai integrator
Artinya hukum berfingsi sebagai alat menyelesaikan konflik. Baik konflik antar individu, maupun masyarakat. Dengan adanya hukum yang berfungsi sebagau pemersatu, maka konflik dapat dikompromikan dan diputuskan jalan keluar yang paling baik dengan nilai resiko yang minimal.
Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa hukum pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain bisa dinyatakan bahwa hukum ada dari oleh dan untuk masyarakat. Jelas ini dalam dataran ideal, namun dalam kenyataan banyak penyimpangan, hukum lebih cenderung dibentuk oleh politik kekuasaan dan dilaksanakan dengan perspektif penguasa dan hanya melindungi sedikit kaum elite.
2. Hukum dan Moral
Mengenai hubungan moral dan hukum sebenarnya berkaitan dengan sumber material maupun sumber formal hukum. Dan dalam masyarakat yang sangat majemuk, kristalisasi moral sebagai sumber hukum akan menemukan banyak kesulitan, bahkan tidak menutup kemungkinan justru menimbulkan konflik baru.
Moralitas yang ada dalam masyarakat tidak terlepas dari relasi-relasi sosial yang melatar belakanginya. Sehingga kita bisa menemukan bahwa moralitas masayarakat pada jaman dahulu, jauh berbeda dengan moralitas masyarakat modern.
Adi Sulistiyono yang mengutip Yasraf Amir Piliang menyatakan bahwa berdasarkan dialektika moralitas dengan relasi-relasi sosial tersebut, perkembangan moralitas dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase perkembangan, yaitu, pertama, era ketika wacana berdiri sangat kokoh di atas fondasi agama. Penilaian moral mengenai baik atau buruk, benar atau salah, halal atau haram secara konsisten dikembalikan kepada aturan-aturan yang bersifat ilahiah. Kedua, era ketika wacana moralitas dilandasi oleh kepentingan-kepentingan politik, militer, dan kekuasaan. Pemilaian moral diatur oleh konvensi atau kode-kode yang dibuat berdasarkan akal budi manusia itu sendiri dan semuanya tidak dapat dilepaskan dari kaitan-kaitan politiknya. Penilaian moral pada akhirnya menjadi alat politik. Ketiga, era ketika penilaian moral sangat dipengaruhi oleh wacana ekonomi-politik. Penilaian moral mengenai baik-buruk, benar-salah, moral-amoral sangat dilandasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, khususnya kapitalisme. Dengan perkataan lain, nilai-nilai moral itu kini menjadi bagian integral dari nilai-nilai komiditi.
Dalam konteks wacaana di atas, maka moral seperti sesuatu yang dependen. Moral tidak otonom, namun berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sehingga sangat mungkin sesuatu yang dahulu sangat amoral, saat ini menjadi sesuatu yang biasa dan bahkan mungkin bermoral. Hal itu dimungkinkan jika moral hanya disandarkan pada hasrat total (total disire) yang oleh Baudrillard dikatakan mempunyai kecenderungan ke arah bentuk-bentuk moral dan immoral, sebuah kecenderungan yang dipengaruhi oleh penolakan terhadap segala bentuk penilaian moral (value judgment) dan lebih mendambakan dirinya pada tujuan pengumbaran gejolak hasrat.
Adi Sulistiyono menyatakan bahwa wacana yang lahir dalam konteks ini adalah hipermoralitas. Di dalam wacana ini, setiap komponen sosial menemukan cara untuk menghindarkan diri dari kategori-kategori moral yang dianggap membosankan, sehingga melakukan perkembangbiakan model-model tindakan sosial yang tidak terhingga dengan mendekonstruksi batas-batas moralnya, dengan cara bergerak ke arah titik ekstrim.
Moralitas berada di dalam jurang yang paling rendah ketika batas-batas moral itu sendiri dianggap tidak ada lagi. Akibatnya, muncul abjeksi moral, yaitu sebuah situasi di mana hukum dan moralitas berada pada titik nadir. Abjeksi moral adalah sebuah situasi ketika kehinaan dianggap kebanggaan, dosa dianggap sebagai satu kemenangan, kemabukan dianggap sebagai satu kebesaran, kegilaan dianggap sebagai kebenaran, dan kesadisan dianggap sebagai satu kesucian. Singkatnya, hal itu terjadi karena adanya ketidakacuhan moral (moral indifference), penolakan moral (immorality), dan ambiguitas moral (moral ambiguity) yang disebabkan karena garis demarkasi moral itu sendiri telah dilewati. Hal itu harus dikendalikan karena sejarah mengajarkan bahwa apa pun yang bertumbuh ke arah titik ekstrem pada hakikatnya ia berkembang menuju titik “penghancuran diri sendiri” (self destruction).
Di mana kaitan hukum dengan moralitas? Berdasarkan wacana di atas, ketika moralitas ada pada kendali hasrat, maka hukum mesti menjadi gawang atau penjaga moralitas dari hasrat yang bebas. Hukum bisa menjadi semacam rambu untuk mencegah ketidak terbatasan hasrat ini, sehingga batas-batas moral sendiri dapat terjaga. Di sini, persoalan mencari satu rumusan kesatuan moral yang murni dan universal menjadi tantangan yang tidak mudah.
C. KEBIJAKAN HUKUM DALAM MASYARAKAT
Sebuah kenyataan bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Hal ini menyebabkan sebuah peraturan perundang-undangan seringkali dibuat semata-mata karena ada persoalan penyimpangan norma dalam masyarakat (law made by disorder). Sangat jarang hukum dibuat dengan dasar prediksi pembangunan sosial yang jauh menerawang masa depan, menjadi panduan sikap manusia atas sesuatu yang dibolehkan dan sesuatu yang dilarang (law made as an order). Dalam kondisi ini, hukum selalu tertinggal dari perkembangan norma dalam masyarakat. Sehingga para sarjana kriminologi selalu menyadari bahwa kejahatan dalam pandangan sosiologis akan kelihatan lebih realistis dibanding dengan pandangan yuridis yang kaku dan statis.
Kebijakan hukum selalu terkait juga dengan kebijakan sosial, atau dapat dikatakan kebijakan hukum adalah bagian dari kebijakan sosial. Sudharto mengartikan kebijakan hukum sebagai kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai yang dicita-citakan. Dengan kata lain, kebijakan hukum merupakan sebuah instrumen sosial untuk mencapai apa yang dicita-citakan masyarakat.
Stjipto Rahardjo menyatakan bahwa mendirikan negara hukum, membuat hukum dan menjalankan hukum tidak bisa dilepaskan dari rancangan besar mengenai bagaimana kehidupan manusia itu ingin dibangun. Hukum juga mesti memiliki sudut pandang (point of view) dan akan berangkat dari situ pula. Titik pandang tersebut mengandung filsafat kehidupan dan memuat kearifan tentang bagaimana pendapat anda tentang manusia dan kehidupan bersama manusia itu. Dan asas-asas hukumlah yang akan mewadahi titik pandang tersebut.
Pemilihan kebijakan hukum sebagai bagian kebijakan sosial antara lain disebabkan kemampuan hukum itu sendiri dalam hal perlindungan lebih mapan. Sebagaimana kita ketahui di luar norma hukum, ada beberapa noram lain seperti, kepercayaan, kesusialaan, sopan santun. Namun ketiga norma tersebut dalam kenyataannya tidak mampu memberikan perlindungan yang memuaskan, sehingga diperlukan norma hukum. Sebagaimana Sudikno menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadikan norma hukum penting dalam kehidupan manusia: Pertama, masih banyak kepentingan-kepentingan lain lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum memperoleh perlindungan yang maksimal dari ketiga norma sosial (noram kepercayaan, kesusilaan dan sopan santun). Kedua, kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial belum cukup terlindungi karena karena jika terjadi pelanggaran reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan. Misal, jika norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang nyata pada pelanggarnya, jika norma kesusilaan dilanggar mungkin hanya akan mengakibatkan rasa malu atau menyesal, tanpa ada penangkapan dan pengadilan, sehingga sangat mungkin masyarakat secara kesuluruhan merasa tidak terlindungi.
Selain kaidah hukum memiliki keunggulan dalam ketegasan sanksi, kaidah hukum juga memiliki keterbatasan dalam ranah implementasi yang sangat tergantung pula pada perilaku suatu masyarakat. Soerjono Soekanto mengemukakan lima faktor yang memperngaruhi efektifitas penegakan hukum: Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan sendiri. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kebijakan hukum dalam masyarakat menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai alat lindung dan pencapaian cita-cita masyarakat, namun, di sisi lain, hukum juga bukan segala-galanya, karena memiliki begitu banyak keterbatasan, dan untuk bisa efektif, masih banyak faktor di luar hukum yang mesti bekerja membantu.
D. BAGAIMANA HUKUM MENGATUR PORNOGRAFI?
Pornografi berasal dari kata Yunani porne artinya ”wanita jalang/pelacur” dan graphos artinya gambar atau tulisan. Secara harafiah bisa bermakna tulisan tentang atau gambar tentang pelacur. Jadi pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual.
Di Indonesia, pornografi memiliki sejarah yang cukup panjang. Diperkirakan mulai masuk pada abab ke-17 dibawa oleh pedagang dari Belanda. Pada tahun 1929, telah diputar pertama kali film Resi Boroboedoer yang menampilkan adekan ciuman dan wanita berpakaian renang. Tahun 1950-an, heboh muncul gambar-gambar telanjang artis Nurnaningsih. Pada tahun 1970-1980-an dunia perfilman Indonesia dibanjiri film-film panas, dan tahun 1984 muncul kalender bergambar panas berjudul ”Happy New Year 1984 Sixino”. Tahun 1990-2000-an, pengaruh kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola, televisi, VCD, laser disc, DVD dan internet, semuanya membuat film dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota besar maupun kecil, bahkan sampai ke pedesaan sekalipun. Tahun 2006, majalah playboy fersi Indonesia pertama kali beredar.
Dampak dari pornografi sendiri sudah dapat diprediksi, yaitu kenyataan adanya perubahan gaya pergaulan anak muda yang semakin bebas, ditambah budaya permisif yang semakin menghawatirkan. Selain itu juga marak terjadi kejahatan seksual, skandal vidio porno dan sebagainya. Hal tersebut telah mengindikasikan adanya pergeseran standar moral atas perilaku manusia bangsa Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pornografi berada pada wilayah masalah moral masyarakat. Dan setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif (hasrat bebas) dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Sebagaimana dikemukakan di muka, ketika moralitas ada pada kendali hasrat, maka hukum mesti menjadi gawang atau penjaga moralitas dari hasrat yang bebas. Hukum bisa menjadi semacam rambu untuk mencegah ketidak terbatasan hasrat ini, sehingga batas-batas moral sendiri dapat terjaga.
Posisi hukum dalam hal ini UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, adalah instrumen sosial yang digunakan untuk melakukan pembatasan hasarat bebas manusia dalam lingkup bangsa Indonesia, agar kemrosotan standar moralitas terkait dengan sebab-sebab dan akibat-akibat pornografi dapat dicegah.
Persoalan berikutnya adalah pada masalah implementasi, mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia sendiri yang tentu saja memiliki standar moral yang berbeda. Tidak heran jika kemudian muncul penolakan-penolakan dari beberapa daerah atas pengesahan UU tentang pornografi ini. Penolakan tersebut terjadi karena adanya perbedaaan standar mengenai definisi porno. Terkait dengan hal ini, maka pandangan Satjipto Raharjo mengenai penafsiran hukum progresif, dapat menjadi satu solusi jalan tengah.
Satjipto menjelaskan bahwa penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa, dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum mengandung perintah dan pemaksaan, maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, para penegak hukum mesti memiliki satu formula sebagai paradigma untuk menegakkan hukum.
Untuk dapat diimplementasikan, sebuah aturan perundang-undangan memerlukan penafsiran. Dan penafsiran ini menempati posisi yang sangat penting karena pada dasarnya membaca hukum adalah menafsirkan hukum. Penafsiran sendiri tidak terlepas dari faktor manusia yang menafsirkan, sangat subjektif. Karena undang-undang ada dari persoalan yang tumbuh dalam masyarakat, maka sudah semestinya penafsiran yang digunakan untuk membaca makana hukum di dalamnya adalah dengan perspektif kenyataan dalam masyarakat. Sehingga pekerjaan penafsiran tidak semata-mata membaca peraturan dengan logika peraturan, melainkan membaca kenyataan atau apa yang terjadi dalam masyarakat. Ini yang disebut Satjipto sebagai penafsiran hukum progresif, yang menggunakan paradigma hukum untuk manusia.
Dengan paradigma hukum progresif tersebut di atas, diharapkan penegak hukum dapat menemukan asas-asas hukum sebagai titik pandang hukum yang ada dalam perundang-undangan dan mampu menemukan serta menggunakan standar moral masyarakat dimana hukum itu berlaku secara sinergis.
Secara umum, masyarakat memiliki satu persepsi, bahwa pornografi adalah sesuatu yang amoral, dan mereka mekanisme tersendiri untuk melakukan pencegahan terhadap merebaknya pornografi tersebut. Namun karena perbedaan standar moral, maka batasan abstrak yang dibangun dirasa kurang begitu efekti. Hukum menjadi salah satu jawaban alternatif yang rasional, meski masih menyisakan begitu banyak pekerjaan lanjutan.
E. SIMPULAN
Dalam hal pornografi, hukum berperan sebagai salah satu instrumen sosial yang digunakan untuk membatasi hasrat bebas manusia yang dapat mempengaruhi standar moralitas suatu masyarakat. Dengan adanya standar moral yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat, dalam implementasinya, penegak hukum mestinya bisa menggunkanan paradigma penafsiran hukum progresif, yaitu dengan menemukan asas-asas hukum sebagai titik pandang hukum yang ada dalam perundang-undangan dan sekaligus mampu menemukan serta menggunakan standar moral masyarakat dimana hukum itu berlaku secara sinergis.
F. PUSTAKA
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosiofis dan Sosiologis), PT.Gunung Agung, Jakarta.
Bur Rasuanto, Pornografi: Soal Etika bukan Estetika. http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9908/11/opini/porn04.htm
Eva Achjani Zulfa, Ketika Zaman Meninggalkan Hukum, opini dalam Masyarakat Pemantau Peradilan FH UI. www.pemantauperadilan.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Pornografi
J.J.H. Brugink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, penerjemah: Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. I, Maret 2006.
Media Indonesia, Rabu, 29 Oktober 2008. hlm: 7
Moctar kusumaatmadja, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 2004, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Cet. Kedua, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
______________, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban; Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, UKI Press, Jakarta.
______________, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Ke-enam, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta.
Sudarto, 1993, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (suatu pengantar) edisi 3, Liberty, Yogyakarta.
Tuntut Pengesahan RUU Pornografi untuk Jaga Moral Bangsa! Dalam http://www.eramuslim.com. Sabtu 25 Oktober 2008. diakses pada Selasa, 28 April 2009